Senin, 04 Februari 2019

AYO MENDAFTAR DAN BERGABUNG MENGAWASI PEMILU 2019 BERSAMA BAWASLU

 KLIK UNTUK PERSYARATAN

Info dan persyaratan selengkapnya silahkan klik disini

#SalamAwas
luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com

PENGUMUMAN PENDAFTARAN PENGAWAS TPS PEMILU 2019



BATAS AKHIR PENGUMPULAN BERKAS PENDAFTARAN : 
luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com

Senin, 05 November 2018

PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU 2019 DAN NOMOR URUTNYA




Pemilu (Pemilihan Umum) serentak Legislatif dan Presiden akan diselenggarakan hari Rabu, 17 April 2019 mendatang. 16 partai politik nasional peserta pemilu sudah mendapatkan nomor urutnya masing-masing.

Berikut adalah nomor urut partai politik nasional peserta Pemilu Serentak 2019*:
Nomor urut 1: Partai Kebangkitan Bangsa
Nomor urut 2: Partai Gerindra
Nomor urut 3: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Nomor urut 4: Partai Golkar
Nomor urut 5: Partai Nasdem
Nomor urut 6: Partai Garuda
Nomor urut 7: Partai Berkarya
Nomor urut 8: Partai Keadilan Sejahtera
Nomor urut 9: Partai Perindo
Nomor urut 10: Partai Persatuan Pembangunan
Nomor urut 11: Partai Solidaritas Indonesia
Nomor urut 12: Partai Amanat Nasional
Nomor urut 13: Partai Hanura
Nomor urut 14: Partai Demokrat
Nomor urut 19: Partai Bulan Bintang
Nomor urut 20: Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia

*Nomor urut 15-18 adalah nomor urut parpol lokal di Aceh.

Berikut adalah tanda gambar partai politik nasional peserta Pemilu Serentak 2019:


luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com

Rabu, 31 Oktober 2018

6 TIPS SEBELUM MEMILIH DI HARI PEMUNGUTAN SUARA



Sumber: http://rumahpemilu.org/6-tips-sebelum-memilih-di-hari-pemungutan-suara/

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com

MK TOLAK EMPAT PERMOHONAN MENGENAI AMBANG BATAS PENCALONAN PRESIDEN


Kamis (25/10), Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan empat perkara permohonan uji materi mengenai ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden yang terdapat pada Pasal 222 Undang-Undang (UU) No.7/2017 tentang Pemilu. Dua perkara, yakni No.49/2018 dan No.54, seluruh argumentasinya dinyatakan tak beralasan menurut hukum. Sementara perkara No.58/2018 dan No.61/2018 dinyatakan ditolak karena legal standing pemohon tak memenuhi syarat.
Dalam pertimbangan putusannya, MK menegaskan beberapa argumentasi yang menyatakan ketidaksepahaman dengan para pemohon. Pertama, dalam melakukan penilaian terhadap Pasal 6A ayat (1), MK melihat konteks desain sistem presidensial dan penguatannya. Kedua, tak ada perubahan ketatanegaraan yang membuat MK harus merubah sikap. Ketiga, MK menilai penetapan ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden sebagai open legal policy yang merupakan hak pembentuk Undang-Undang.
Argumentasi-argumentasi yang disampaikan MK tersebut merupakan penekanan ulang dari pertimbangan yang disampaikan MK dalam putusan-putusan MK sebelumnya mengenai ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden, yaitu Putusan MK No.51,52,56, 59/2008, Putusan MK No.26/2009, Putusan MK No.4,14,46,56,108/2013, Putusan MK No.49/2014, serta Putusan MK No.53,59,71,72/2017. Repetisi kalimat “menegaskan kembali” dalam putusan MK seolah menyiratkan bahwa MK tak ingin ada permohonan uji materi lain  mengenai ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden.
“Mahkamah secara implisit menegaskan kembali pendiriannya bahwa norma undang-undang yang memuat persyaratan perolehan suara atau kursi partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilihan umum adalah konstitusional,” tertulis dalam Putusan MK No.49/2018.
Desain sistem presidensial dan tujuan penyederhanaan partai
Hak untuk memilih presiden-wakil presiden, kata MK, adalah milik semua orang yang telah berhak pilih. Namun hak untuk dipilih sebagai presiden-wakil presiden ditentukan dengan sejumlah syarat sebagaimana tertuang di dalam Pasal 6A ayat (2) UU Dasar (UUD) 1945. Untuk itu, pembatasan oleh Pasal 222 yang juga dimuat dalam Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU No.42/2008 tidaklah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
MK menolak argumentasi pemohon, di antaranya Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Rocky Gerung, dan ,bahwa syarat ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen kursi parlemen menyebabkan Pemilu Serentak 2019 tidak diselenggarakan secara adil. Menurut MK, pencapaian partai atas terpenuhinya ambang batas pencalonan diperoleh partai melalui proses demokrasi yang juga diserahkan kepada pemilih. Ambang batas pencalonan juga dinilai sebagai bukti bahwa partai atau partai-partai pengusung calon presiden-wakil presiden memiliki dukungan kuat dari pemilih.
Selain itu, MK mejelaskan bahwa keberadaan ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden adalah constitusional engineering untuk memperkuat sistem presidensial dan menyederhanakan jumlah partai politik di parlemen. Logika versi MK, untuk memenuhi ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden, partai-partai politik sejak awal akan mencari kawan partai yang dapat bersepakat mendukung pasangan calon (paslon) presiden-wakil presiden dan mengisi personalia kabinet yang akan dibentuk. Dengan kompromi politik tersebut, hal fundamental mengenai program kerja paslon terpilih tak akan terkorbankan dan konsolidasi politik di awal dengan sendirinya akan menyederhanakan jumlah partai politik dan mereduksi sistem presidensial rasa parlementer.
“Dengan sejak awal diberlakukannya persyaratan jumlah minimum perolehan suara partai politik…untuk dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, berarti sejak awal pula dua kondisi bagi hadirnya penguatan sistem presidensial diharapkan terpenuhi, yaitu pertama, upaya pemenuhan kecukupan dukungan suara partai ….pendukung pasangan calon di DPR, dan kedua, penyederhanaan jumlah partai politik,” kata hakim MK, Wahiduddin Adams, saat membacakan pertimbangan putusan di gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat.
Open legal policy dan constitusional engineering
MK mengutip putusannya No.14/2013 dan No.51,52,59/2008 yang menyebutkan bahwa syarat ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policyyang dapat dibentuk oleh pembuat UU. Pasal 222 dinilai MK hadir sebagai constitutional engineeringdengan tujuan memperkuat sistem presidensial.
“Argumentasi para pemohon bahwa syarat pasangan calon bukan open legal policy melainkan close legal policy telah tertolak oleh Mahkamah sebagaimana tertuang dalam pertimbangan Putusan Mahkamah No.51-52-59/2008 yang kemudian ditegaskan kembali dalam putusan-putusan Mahkamah berikutnya…”
Selain menyatakan Pasal 222 sah sebagai constitutional engineering, MK juga menilai ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden tidak membatasi jumlah pasangan calon presiden-wakil presiden yang dapat dipilih pemilih. Pasalnya, tak ada regulasi yang membatasi pendirian partai politik sepanjang dapat memenuhi syarat pendirian partai, sehingga kemungkinan untuk lahirnya partai-partai politik yang akan memunculkan presiden-wakil presiden alternatif tetap terbuka.
“Kemungkinan untuk lahirnya partai-partai politik baru akan tetap terbuka, sebagaimana terbukti dari kenyataan empirik yang ada selama ini, sejak dijaminnya kemerdekaan berserikat dan berkumpul, terutama setelah dilakukan perubahan UUD 1945,” ucap hakim MK, Saldi Isra.
MK nilai tak ada pembohongan publik di Pasal 222
Effendi Ghazali, salah satu pemohon yang untuk kedua kalinya menggugat Pasal 222 mendalilkan bahwa ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden yang diambil dari hasil pemilihan legislatif (pileg) lima tahun lalu dalam konsep pemilu serentak yang baru diumumkan setelah pelaksanaan Pileg 2014 selesai adalah pembohongan dan penipuan kepada publik oleh pembentuk UU. Pembentuk UU tak pernah menginformasikan kepada pemilih bahwa hasil Pileg 2014 akan dijadikan ambang batas pencalonan presiden pada Pemilu 2019.
MK menyatakan tak sepakat dengan argumentasi Effendi. Penggunaan hasil pemilihan sebelumnya sebagai ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden, dinilai MK, sebagai bukan hal baru sehingga tak dapat dikatakan pembohongan dan merupakan transisi dari pileg dan pemilihan presiden (pilpres) terpisah menuju pemilihan serentak.
Argumen Effendi yang menyatakan bahwa tak ada satu pun negara di dunia dengan pemilu serentak yang menerapkan ambang batas pencalonan presiden dari hasil pileg lima tahun lalu dibalas oleh MK dengan pernyataan, “Berbicara tentang sistem pemerintahan presidensial, kendatipun secara doktriner dapat ditemukan ciri-cirinya secara umum, dalam praktik terdapat variasi yang beragam sesuai dengan pertimbangan kebutuhan masing-masing negara yang mengadopsi ini.”
MK mencontohkan Amerika Serikat, negara dengan sistem presidensial yang memilih presiden-wakil presiden secara langsung seperti Indonesia. Namun tak serupa dengan negara ini, keterpilihan presiden ditentukan melalui mekanisme electoral college, bukan popular vote atau suara terbanyak.
“Jika dalam mekanisme pemenuhan ciri “pemilihan presiden secara langsung” dimungkinkan terjadi perbedaan, maka tentu dimungkinkan pula terjadinya perbedaan dalam mekanisme pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan dipilih secara langsung itu.”
MK tak memutus secara kasuistis
Dalam putusan-putusan ini, secara implisit MK menegaskan sikapnya untuk menutup ruang bagi pihak lain untuk menyatakan pencalonan ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden, dengan argumentasi apa pun sebagai inkonstitusional. Pandangan MK terhadap ambang batas pencalonan didasarkan pada pertimbangan komprehensif yang bertolak dari hakikat sistem pemerintah presidensial  menurut desain UUD 1945. MK tak memutus secara kasuistis atau menjawab sesuai dengan argumentasi yang diajukan masing-masing pemohon.
“…bukan atas dasar pertimbangan-pertimbangan kasuistis yang bertolak dari peristiwa-peristiwa konkret.”
MK menyinggung jarak antara Putusan MK No.53/2017 dengan permohonan-permohonan baru mengenai ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden. Dalam jarak beberapa bulan ini, tak terjadi perubahan sistem ketatanegaraan di dalam UUD 1945, sehingga tak ada alasan bagi MK untuk merubah pendiriannya.
Para pemohon: MK mengecewakan!
Denny  Indrayana, kuasa hukum para pemohon perkara No.49/2018, dan Effendi Ghazali menyampaikan kekecewaan terhadap MK. Denny menyebut Indonesia sebagai satu-satunya negara yang menerapkan pemilu serentak dengan ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden dari hasil pileg lima tahun lalu. Denny juga mengkritik tak dibacakannya dissenting opinion dari dua hakim MK, Suhartoyo dan Saldi Isra. Pembacaan dissenting opinion berguna untuk menunjukkan kekayaan khazanah keilmuan di MK dan memeriksa transparansi pembuatan keputusan.
“Dulu dissenting opinion itu dibacakan, sekarang tidak. Tadi disampaikan kalau ada dissenting dari Suhartoyo dan Saldi Isra, tapi karena tidak dibacakan, kita gak yakin, benar ada atau tidak,” tukas Denny.
Komentar tajam diutarakan oleh Effendi. Sebagai pemohon yang mengajukan pemilu serentak dan dikabulkan oleh MK, Effendi menuding MK dan pembentuk UU sebagai dua pihak yang menyebabkan keterbelahan masyarakat akibat kebuntuan kekuatan politik yang disebabkan oleh ambang batas pencalonan 20 persen dari perolehan suara sah nasional. Jika tahu ambang batas pencalonan akan kembali diterapkan dalam konsep pemilu serentak, Effendi mengaku tak akan mengajukan pemilu serentak.
“Melaksanakan pemilu seperti ini sangat menyesatkan. Ada partai-partai yang sebentar lagi akan hilang karena dia tidak dapat coattail effect dari pemilu serentak yang punya presidential threshold. Jadi, kalau pemilu serentak ini betul jadi pemilu yang paling kacau, bukan salah saya Effendi Ghazali yang mengajukan judicial review, tapi salah pembentuk UU dan MK. Bangsa kita akan terus berkelahi, terbelah. Presidential threshold melahirkan calon yang hanya dua,” tegas Effendi.
Effendi juga mengkritik keras MK yang mengkomparasi pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden pada pemilu serentak di Indonesia dengan sistem pemilihan electoral college di Amerika Serikat. Poinnya, rakyat Amerika sudah tahu bahwa sekalipun secara popular vote seorang kandidat menang, tetapi yang akan terpilih adalah kandidat dengan kemenangan electoral collegeterbanyak.
“Analogi yang diambil tadi itu keliru total. Diambil contoh di AS, bahwa sekalipun yang menang itu popular vote, belum tentu jadi presiden. Bukan begitu logikanya! Mereka sudah tahu sistemnya electoral college. Jadi itu gak masuk akal. Pertimbangannya mengandung kebohongan dan sontoloyo,” tandas Effendi.

Sumber: http://rumahpemilu.org/mk-tolak-empat-permohonan-mengenai-ambang-batas-pencalonan-presiden/
luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com

Senin, 29 Oktober 2018

Jenis-Jenis Pelanggaran Pemilu


Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 merupakan pengganti dari undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Dasar pertimbangan lahirnya undang-undang ini adalah adanya tuntutan dan perkembangan dinamika masyarakat sebagaimana dituangkan dalam UUD 1945 dimana pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-Undang No.10 tahun 2008 telah mengatur ketentuan pidana bagi pelaku tindak pidana pemilu yang diatur dalam Bab XXI, yaitu pasal 260 sampai dengan pasal 311. Adapun pengelompokan jenis-jenis tindak pidana pemilu dalam undang-undang tersebut adalah sebagai berikut:

Tindak pidana pemilu yang berkaitan dengan tahapan pendaftaran pemilih, pendaftaran peserta, maupun pendaftaran DPR, DPD, dan DPRD Provinsi, serta DPRD Kabupaten/Kota (pasal 260-268). Perbuatan-perbuatan yang dilarang menurut pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Merintangi orang menjalankan haknya dalam memilih (Pasal 260).
  2. Memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain dalam pengisian daftar pemilih (Pasal 261).
  3. Mengancam dengan kekerasan atau menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat pendaftaran pemilih (Pasal 262)
  4. Petugas PPS/PLN yang dengan sengaja tidak memperbaiki daftar pemilih (Pasal 263)
  5. Anggota KPU yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu/Panwaslu dalam hal pemutakhiran data pemilih yang merugikan WNI yang memiliki hak pilih (Pasal 264)
  6. Penyuapan (Pasal 265)
  7. Mengaku sebagai orang lain (Pasal 266)
  8. Anggota KPU yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu/Panwaslu dalam melaksanakan verifikasi partai politik calon peserta pemilu (Pasal 267)
  9. Anggota KPU yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu/Panwaslu dalam melaksanakan verifikasi partai politik calon peserta pemilu dan kelengkapan administrasi bakal calon anggota legislative (Pasal 268).
Tindak pidana pemilu yang berkaitan dengan tahapan kampanye pemilu, dana kampanye, maupun larangan-larangan dalam berkampanye (pasal 269-282). Perbuatan-perbuatan yang dilarang menurut pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Melakukan kampanye luar jadwal KPU (Pasal 269)
  2. Melanggar larangan pelaksanaan kampanye pemilu (Pasal 270)
  3. Pelaksana kampanye yang melanggar (Pasal 271)
  4. Pejabat Negara yang melanggar pelaksanaan kampanye (Pasal 272)
  5. Pelanggaran yang dilakukan anggota PNS,TNI/POLRI dan pernagkat desa dalam pelaksanaan kampanye (Pasal 273)
  6. Melaksanakan kampanye dengan menjanjikan atau memberikan uang dan imbalan lain (Pasal 274)
  7. Anggota KPU yang melakukan tindak pidana pemilu dalam pelaksanaan kampanye pemilu (Pasal 275)
  8. Memberi atau menerima dana kampanye yang melebihi batas yang ditentukan (Pasal 276)
  9. Menerima dana kampanye dari pihak asing atau pihak yang tidak jelas identitasnya (Pasal 277)
  10. Menghalangi dan mengganggu jalannya kampanye pemilu (Pasal 278)
  11. Pelaksana kampanye yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilu (Pasal 279)
  12. Pelaksana, peserta, atau petugas kampanye yang mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilu (Pasal 280)
  13. Memberikan laporan yang tidak jelas dalam laporan dana kampanye (Pasal 281)
  14. Mengumumkan hasil survey atau jajak pendapat dalam tenang (Pasal 282).
Tindak pidana pemilu yang berkaitan dengan pemungutan suara atau pencoblosan suara (pasal 283-287, pasal 289-292, dan pasal 294-295). Perbuatan-perbuatan yang dilarang menurut pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Ketua KPU yang menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi jumlah yang ditentukan (Pasal 283)
  2. Perusahaan pencetak surat suara yang dengan sengaja mencetak melebihi jumlah yang ditetapkan oleh KPU (Pasal 284)
  3. Perusahaan yang tidak menjaga kerahasiaan,keamanan, dan keutuhan surat suara (Pasal 285)
  4. Menjanjikan atau memberikan uang dan materi lainnya saat pemungutan suara (Pasal 286)
  5. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan pada saat pemungutan suara (Pasal 287)
  6. Mengaku dirinya sebagai orang lain saat pemungutan suara (Pasal 289)
  7. Memberikan suaranya lebih dari satu kali di TPS yang berbeda (Pasal 290)
  8. Menggagalkan pemungutan suara (Pasal 291)
  9. Majikan/atasan yang menghalangi seorang pekerja untuk memberikan suaranya (Pasal 292)
  10. KPPS/KPPSLN yang tidak memberikan surat suara pengganti kepada pemilih (Pasal 294)
  11. Petugas pembantu pemilih yang memberitahukan pilihan pemilih kepada orang lain (Pasal 295)

Tindak pidana pemilu yang berkaitan dengan tambahan pasca pemungutan suara atau pencoblosan suara (pasal 288, 293, dan pasal 296-311). Perbuatan-perbuatan yang dilarang menurut pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Menyebabkan peserta pemilu mendapatkan tambahan atau berkurangnya perolehan suara (Pasal 288)
  2. Merusak atau menghilangkan hasil pemungutan suara yang sudah disegel (Pasal 293)
  3. Anggota KPU tidak menetapkan pemungutan suara ulang di TPS padahal dalam persyaratan untuk pemungutan suara ulang terpenuhi (Pasal 296)
  4. Menyebabkan rusak atau hilangnya berita acara pemungutan dan penghitungan suara yang sudah tersegel (Pasal 297)
  5. Mengubah berita acara hasil penghitungan suara dan/atau sertifikat hasil penghitungan suara (Pasal 298)
  6. Anggota KPU yang mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara dan sertikat penghitungan suara (Pasal 299)
  7. Merusak, mengganggu, atau mendistorsi sistem informasi penghitungan suara hasil pemilu (Pasal 300)
  8. Ketua KPPS/KPPSLN tidak membuat dan menandatangani berita acara perolehan suara peserta pemilu (Pasal 301)
  9. KPPS/KPPSLN tidak memberikan salinan satu eksemplar berita acara pemungutan dan penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi peserta pemilu,pengawas pemilu lapangan, PPS, dan PPK (Pasal 302)
  10. KPPS/KPPSLN yang tidak menjaga, mengamankan keutuhan kotak suara dan meyerahkan kotak suara tersegel, dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada PPK (Pasal 303)
  11. Pengawas Pemilu lapangan (PPL) yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara tersegel kepada PPK dan Panwaslu yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara tersegel kepada KPU (Pasal 304)
  12. PPS yang tidak mengumumkan hasil penghitungan suara (Pasal 305)
  13. KPU tidak menetapkan perolehan hasil pemilu secara nasional (Pasal 306)
  14. Melakukan penghitungan cepat dan mengumumkan hasil penhitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara (Pasal 307).
  15. Melakukan penghitungan cepat yang tidak memberitahukan bahwa hasil penghitungan cepat bukan merupakan hasil resmi pemilu (Pasal 308)
  16. KPU yang tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 309)
  17. Bawaslu/Panwaslu yang tidak menindaklanjuti temuan dan/atau laporan pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh KPU,PPK,PPS/PPLN, dan/atau KPPS/KPPSLN (Pasal 310)
  18. Penyelenggaran pemilu melakukan pelanggaran pidana pemilu (Pasal 311)
Sumber :
http://www.negarahukum.com/hukum/jenis-jenis-tindak-pidana-pemilu.html
luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com

Senin, 15 Januari 2018

PENGUMUMAN CALON TERPILIH ANGGOTA PENGAWAS PEMILIHAN LAPANGAN SE-KECAMATAN GLENMORE TAHUN 2018

 Pengumuman Kelulusan PPL PILGUB JATIM 2018
Berikut adalah pengumuman hasil uji kelayakan dan kepatutan calon anggota Pengawas Pemilihan Lapangan se-Kecamatan Glenmore tahun 2018. 

Bagi nama-nama yang tersebut pada pangumuman di atas agar segera menyerahkan Surat Keterangan Bebas Narkoba dari Rumah Sakit Pemerintah (ex. RSUD Kembiritan Genteng) pada saat pelantikan. 

Pelantikan akan dilaksanakan pada:
Hari                 : Rabu 
Tanggal         : 17 Januari 2018 
Pukul             : 08.30 WIB s/d Selesai
Tempat           : Pondok Wina. Jl. Basuki Rahmat No. 92 Banyuwangi 

Catatan: 
1. Harap hadir 30 menit sebelum acara dimulai.
2. Membawa Materai 6.000,- satu lembar.
3. Berpakaian Hitam (bawahan) & putih (atasan), serta memakai Songkok/kopiah/jilbab berwarna hitam. 
4. Acara bimtek akan dilaksanakan setelah acara pelantikan selesai di hari yang sama.
luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com